Pertarungan Diksi
![]() |
Bendera revolusi |
Saya beberapa kali memerhatikan beberapa diksi yang digunakan oleh pemerintah dalam mengemukakan pernyataannya di media terkait masalah-masalah lingkungan, demikian pula dengan bahasa yang digunakan oleh para aktivis yang “berjuang” melawan kesewenangan pemerintah yang tidak menjalankan fungsinya dengan baik, kata mereka.
Beberapa tahun terakhir ramai masalah tambak udang di pesisir utara Madura dan, terbaru, tambang fosfat. Kendati begitu banyak masalah lingkungan di Madura yang perlu diatasi bersama, dua masalah itu yang sering disorot.
Banyak aksi penolakan atas rencana penambangan fosfat di Sumenep karena dikhawatirkan merusak lingkungan, menghabiskan banyak cadangan air, polusi udara, pencemaran laut, banjir, dan sebagainya—hal seperti ini jamak terjadi di berbagai tempat di Indonesia yang ditambang.
Aktivitas tambang akan menghancurkan batuan karst yang merupakan tempat penyimpan air secara alami, menghancurkan goa-goa (celah kecil dalam rekah bumi) sehingga membuat aliran off. Air dalam tanah mengalir dalam goa-goa ini, ia mengalir tanpa ujung, ketika aliran ini terputus maka terjadilah aliran off tadi. Air hujan tidak lagi bisa ditampung dengan baik oleh alam sehingga mengakibatkan banjir dan kekeringan.
Keresahan itu pernah disampaikan kepada aparat pemerintah ketika diskusi daring.
Si aparat bilang, bila masalahnya adalah penampungan air hujan, maka solusinya adalah dengan membuat Waduk.
Waduk bisa menampung air hujan, tetapi ia punya batas volume. Bila daya tampung bendungan itu sudah melebihi batas, maka air otomatis akan meluap dan mengalir ke manapun tempat yang bisa dialiri.
Saya masih ingat betul, si aparat bilang “menampung” bukan “menyimpan.” Begitulah nyatanya, ia hanya bisa menampung air hujan tetapi tidak bisa menyimpan air hujan secara berkelanjutan.
Perebutan diksi ini walau tampak sepele tapi punya dampak sebaliknya. Masih ingatkah kita dengan istilah “mudik” dan “pulang kampung” yang sempat ramai tahun lalu? Atau atau diksi “koruptor” dan “maling”
Perebutan istilah-istilah seperti itu kerap terjadi. Bila berhubungan dengan bisnis skala besar seperti itu, lagu nina bobo-nya adalah untuk “meningkatkan/menyejahterakan masyarakat.” Diksi ini nyaris selalu ada ketika ada pengusaha hendak masuk ke suatu daerah untuk berinvestasi.
Dalam ekologi politik, Henry Bernstein, mengajukan empat pertanyaan penting dalam menelusuri masalah eksploitasi sumber daya material: siapa memiliki apa?; siapa melakukan apa?; siapa mendapatkan apa? dan; digunakan untuk apa hasil yang mereka dapatkan itu?
Para pengusaha datang bagaikan seorang pahlawan. Nyatanya, merekalah penjahat sesungguhnya: melihat alam hanya sebatas aset ekonomi. Mereka tidak datang dengan tangan kosong, ada banyak iming-iming yang ditawarkan oleh para pengusaha ini demi mengeruk lebih banyak keuntungan dari setiap jengkal tanah.
Ketika alam yang dieksplotasi itu sudah rusak, hancur, dan tidak menyisakan apapun untuk dikeruk, maka mereka akan melimpahkan semua tanggung jawab itu kepada pemerintah, sedangkan masyarakat yang pertama mendapatkan dampak buruknya.
Smua itu, salah satunya, berasal dari diksi-diksi yang digunakan pemerintah untuk membela para “rampok” itu. Memberikan jalan kepada mereka untuk mengeksploitasi alamnya.
Lalu si apparat dengan segala topengnya berkata, “Mengapa hanya pemerintah yang selalu disalahkan? Mari kita selesaikan masalah ini bersama-sama!”
Song(ong) of Revolution
Saya selalu mendengar teriakan revolusi di tengah jalan. Mereka berteriak, “Revolusi, revolusi, revolusi...!” sambil menarik kawat berduri, mungkin semangat Castro dan Che Guevara sedang menyala dalam diri mereka waktu itu.
Saat itulah pikiran saya sedikit pesimis dengan perlawanan yang ada di depan saya saat itu. Di saat yang bersamaan itulah, saya teringat lagu-lagu Tracy Chapman seperti “Talking about a revolution” dan “All that you have is your soul.”
Tidak ada kata-kata romantisme heroik dalam lirik-lirik lagu Chapman, tidak ada kepalan tangan, teriakan berapi-api, atau kutukan sumpah serapah terhadap para kapitalis, namun lirik-lirik lagu itu mengoyak-oyak sanubari saya. Lirik-lirik yang benar-benar berisi sebuah pemikiran yang luar biasa.
Pikiran pesimis saya mulai mengeluarkan berbagai pertanyaan, “Inikah revolusi sesungguhnya?” “Apakah mereka tidak menjual jiwa mereka?”
Diksi lirik-lirik lagu Chapman selalu saya rindukan daripada narasi romantisme “revolusi” nan heroik, tetapi tidak memiliki ruh. Sebuah kata revolusi takkan bermakna apa-apa bila ia telah kehilangan ruh dan spiritnya yang sejati, spirit yang berbasis pada ilmu pengetahuan yang mendalam dan radikal.
Hanya saja, selama perang diksi masih berlangsung, perlawanan tidak boleh kalah.
*Pendengar lagu
Komentar
Posting Komentar