Pedagang Mie Ayam 08 dan Tiga Orang Pengemis
![]() |
Gambar karya Choirur Rahman (Perihal Sepi) |
Tulisan ”Mie Ayam 08” terlihat
jelas di seberang jalan Gang Keluarga, Kelurahan Palmerah, Jakarta Barat. Tulisan berwarna merah darah dengan
latar warna kuning dalam banner berukuran setengah kali dua meter
itu terpasang rapi di balkon sebuah bangunan bercat putih.
Dua orang laki-laki duduk menunduk sambil menatap
ponselnya. Salah satu mereka yang berjenggot duduk di sebelah utara menghadap seorang pemuda yang datang menghampirinya, mereka membicarakan
sesuatu, tampaknya pemuda itu memesan makanan karena seketika itu juga pria
berjenggot tipis itu bediri menuju panci yang terletak di atas kompor gas. Di
sana terdapat berbagai alat-alat masak seperti pisau, keranjang
yang ditutupi selembar kain, mangkok kaca, mangkok plastik, dan lain
sebagainya.
Si pria berkumis mengambil sebuah mie instan dari atas estalase setinggi dua meter. Estalase itu terlihat bersih. Berbagai bumbu seperti merica, garam, potongan bawang daun, dan bertangkai-tangkai daun sawi berjajar rapi.
Mie ia rebus dalam panci yang menguapkan uap air panas.
Bunyi gas api terdengar jelas.
Tidak lama, rebusan mie itu ia angkat
menggunakan penyaring, memindahkannya dalam
sebuah mangkok putih bergambar ayam jantan berwarna merah. Mie diadu-aduk
menggunakan sumpit ketika masih dalam saringan; sumpit di tangan kiri, saringan di tangan kanan.
Perhatiannya sempat terpecah oleh seorang bocah yang membawa karung beras kosong sambil
menengadahkan tangan kepada dirinya dan kepada orang yang duduk menunggu di
kursi dekat meja.
“Mohon maaf bapak, mohon bantuannya,” ungkap gadis
kecil berambut pendek setinggi bahu itu.
Pria berkumis itu kembali mengaduk mienya,
mengangkat ke atas-bawah dalam sebuah mangkok. Mie mengeluarkan asap, sisa panas air yang
mendidih, tidak ada air tersisa. Ia memindahkan semangkok mie itu ke atas
etalase. Ia tak beranjak sedikit pun dari pekerjaannya meski ada seseorang di sampingnya
yang terus mengamatinya.
Aroma rebusan mie dan bawang bombay menyeruak. Lelaki itu memotong daun sawi yang dari tadi berada dalam
keranjang tertutup selembar kain bermotif kotak-kotak langsung ke dalam rebusan air yang semakin mendidih dalam
panci. Saat itu, konsentrasinya kembali pecah
tatkala datang seorang buta dan orang yang menuntunnya sambil memegang
tangan kanan si buta dengan menengadahkannya kepada orang-orang di sana.
Perkataannya juga tidak jauh berbeda dengan seorang gadis kecil tadi.
Orang-orang dalam tempat makan itu hanya
menggeleng, ada pula yang mengkatupkan kedua telapak tangannya dan mengangkatnya
setinggi dada. Dua pengemis itu berlalu tanpa kata-kata.
Suara bising kendaraan dan desiran angin terus
berlalu. Malam itu tidak kalah ramainya dengan siang hari, Jalan Kiai
Syahdan tidak pernah sepi dari kendaraan bermotor dan pejalan kaki. Semua
seolah terus bergulir tanpa batasan waktu.
Di malam yang tak legang itu, Si Brewok terus
sibuk meracik berbagai bahan makanan. Ia mengangkat sawi yang direbusnya lalu
mengapitnya dengan penjepit yang terbuat dari seng sepotong demi sepotong dalam
mangkok, memasukkan potongan bawang dan potongan daging ayam yang telah tersedia
dalam sebuah toples di estalasenya. Ia mengambil mangkok kecil berwarna orange yang terbuat dari
plastik.
Laki-laki itu masih tetap tidak mengeluarkan
sepatah katapun, namun kali ini ia beranjak ke panci yang terletak di sebelah
baratnya, panci itu terletak di atas kompor, apinya tidak menyala. Ia menyendok
kuah dalam panci itu ke dalam mangkok kecil berwarna orange, lalu ditambah
sesendok kecil garam dan merica. Ia antar dua mangkok itu ke meja pelanggan tanpa
menggunakan nampan.
Tak lama setelah pelanggan itu menikmati
hidangannya, datang seorang perempuan muda dengan raut muka kusut membawa alat
musik yang terbuat dari rangkaian kayu
dan tutup botol yang terbuat dari seng, ia tak memainkannya, hanya menadahkan
tangan dan berlalu begitu saja saat mendapatakan kata “maaf”.
Aku menikmati mie ayam di depanku.
Jakarta Barat, 22/7/2019
Komentar
Posting Komentar