Postingan

Menampilkan postingan dari 2021

Cerita Dara dan Bagaskara

Gambar
Samawa : pemberian kliping koran kepada mempelai Oleh: Moh. Tamimi* Namanya Sasadara, artinya “bulan.” Aku biasa memanggilnya Dara. Sasadara diambil dari bahasa Jawa. Namaku Bagaskara, artinya “matahari.” Sama dengan Dara, namaku juga berasal dari bahasa Jawa. Aku dan Dara biasa bercerita pada pagi hari atau sore hari. Dua waktu itu adalah satu-satunya waktu kami bisa berjumpa walau hanya sebentar. Kami memanfaatkan waktu yang sebentar itu untuk sebuah cerita yang bisa dikenang sepanjang siang dan malam.  Bila pagi, Dara yang bercerita padaku tentang malam yang ia lalui, tentang para penghuni rumah yang resah, atau anak-anak yang bermandikan cahaya rembulan sambil berlarian di taman belakang rumah mereka.  Bila sore, aku bercerita pada Dara tentang orang-orang yang sibuk menghabiskan waktu, orang-orang dengan kadar kecemasan yang tidak bisa diprediksi setiap harinya.  Pada suatu pagi, aku bercerita pada Dara tentang seorang laki-laki yang jauh dari kampung halaman dan kek...

Pesan Bi 4

Hai, Bi. Aku dengar kamu ingin putih supaya bisa lebih dihargai ya? Hanya itu tujuanmu ingin putih? Bagaimana bentuk penghargaan orang lain padamu selama ini? Apa kamu menyesal dilahirkan dengan warna kulit agak gelap, sawo matang, begitu? Tidak usah terobsesi begitu, Bi, hidup bukan sekadar tentang warna kulit. Aku pikir, seseorang yang menghargaimu hanya karena warna kulit, maka sebatas itulah kualitas dirinya, penghargaannya kepada orang lain. Ada yang lebih mendasar dari warna kulit; sikap. Bisa saja, bila warnamu cerah, “cantik”, kamu hanya menjadi mainan para lelaki mata keranjang. Nilai kemanusiaanmu sampai sebatas kulit, dijadikan “piala” bergilir, direbut cowok-cowok. Apa memang itu yang kamu mau?  Aku yakin, kamu hanya ingin dihargai bukan? Banyak sekali orang yang jauh dari kata “cantik” atau “tampan” tetapi menjadi idola banyak orang. Tahu Stephen Hawking? Ilmuan yang terkenal dengan teori Lubang Hitamnya itu tidak ada tampan-tampannya, sekujur tubuhnya cacat, kecuali o...

Pesan Bi 3

 “Ah Sri mulu. Untuk Bio kapan rilis ???” Begitu katamu, Bi, suatu ketika. Kamu cemburu ya? Tak usah cemburu, Sri bukan kekasihku. Awalnya, nama itu hanya setengah khayal. Kamu bisa membedakan dalam setiap serialnya, karakter Sri beda-beda kan di sana. Coba kamu baca tulisan yang berjudul "Surat Cinta Pertama". Bandingkan dengan tulisan yang berjudul "Surat untuk Sri". Saya menyisipkan nama siapa pun, sepanjang khayalan. Namanya setengah khayal, Bi, ada bagian yang benar, ada bagian yang tidak benar, sebatas imajinasi. Kadang memosisikan sebagai kekasih, kadang perempuan idaman, kadang teman, kadang hanyalah sebuah kenalan yang ingin kuhibur. Bi, aku senang sekali kau memilih untuk melanjutkan kuliahmu. Kamu punya potensi yang luar biasa, sayang jika tidak dikembangkan lebih lanjut. Apalagi kamu pernah juara 1 Kompetensi Sains Madrasah tingkat kabupaten, dan juara 1 olimpiade biologi yang diselenggarakan salah satu kampus ternama di Jawa Timur. Jadi ambil di Surabay...

Lagu Ketika SD

Hai, Sri. Saya melihat status WA seorang teman, konser Bee Gees, pagi ini. Saya tidak tahu itu band legendaris itu, yang saya tahu personel Bee Gees berambut gondrong, pirang, dan bergelombang. Kami ngobrol tentang Bee Gees, personelnya, lagu-lagunya, sampai akhirnya merembet pada lagu-lagu yang sering kami dengarkan sejak kecil. Kami saling bernostalgia. Sejak sebelum sekolah, mungkin usia saya enam tahun waktu itu, saya sudah akrab dengan lagu-lagu Jambrud, Boomerang, Dewa 19, Radja. Nyaris setiap pagi kakak saya memutar lagu-lagu itu, menggunakan kaset pita. Lagu Cinderella, Pelangi, Pelangi di Matamu, dan Satu, begitu akrab di telinga saya. Di sisi lain, paman saya pecinta lagu-lagu kasidah. Mayada dengan Cahaya Rasul-nya dan Sulis dengan Cinta Rasulnya terus menggiang di kepala saya. Saya masih belum sekolah, tidak tahu baca sama sekali. Kalau saya ingin mendengarkan album Mayada, saya bilang, “Pengen dengarkan yang kerudung putih,” kalau Sulis, “Pengen dengarkan yang kerudung mer...

Peri

Sepasang mata mengintip lalu lalang para petani hendak ke ladang. Sepasang mata peri itu berada di balik rimbun bambu, ia menyembunyikan tubuh mungilnya. Sayapnya tidak ia kekapkan, kakinya menginjak ruas batang bambu. Ia bukan peri satu-satunya yang tinggal di balik rumpun bambu itu. Satu peri yang lain baru saja pergi, tinggal di tempat lain. Teman peri telah pergi dengan peri lain yang bermahkota raja. Kini ia tinggal satu-satunya di sana. Ia selalu ragu untuk menampakkan dirinya. Ia takut seseorang akan menangkapnya saat ia sedang bermain-main di atas mahkota bunga. Ia suka bunga Dahlia. Setiap pagi, peri kecil bergigi gingsul itu selalu memandangi Dahlia. Ia selalu ingin tidur dan terbang mengitari mahkota bunga kesukaannya. Hanya, ia tidak bisa terlalu lama bermain-main di atas bunga.  Terkadang ada anak kecil yang bermain-main di sekitar kebun bunga itu, tempat favorit sang pemilik sepasang mata yang tajam nan indah. Ia hanya melihat, sesekali menyentuhnya, terkadang minum s...