Saubi

Hai, Sri

Awal Agustus saya ke Saubi.  Saya selalu ingat kamu di tengah perjalanan. Kamu adalah salah satu alasan saya untuk pulang. Ingin saya bawakan seikat bunga. Bunga apa yang ingin kamu terima dari saya? Saya suka mawar merah. Di Saubi saya tidak melihat setangkai pun mawar.

Rabu, 5 Agustus, saya sampai Saubi. Waktu itu matahari telah tergelincir ke arah barat. Saya buta arah di sana. Aku tak lupa dimana kamu berada. 

Saya sedikit waswas Sri saat akan menginjakkan kakiku di sana. Malam hari sebelum kedatangan saya, di sana terjadi sebuah pembunuhan. Seorang kakek yang ditusuk dalam perahu. Ada tujuh tusukan di tubuhnya, salah satunya tepat bersarang di tenggorokannya. Sekilas saya melihat fotonya, seonggok mayat itu bersimbah darah, posisinya membungkuk ke kiri, di dekatnya terdapat satu bal rokok. Saya merasa ngeri melihatnya.

Berhari-hari saya tidak keluar rumah, kecuali ke tepi pantai untuk mencari sinyal sekaligus menikmati desiran angin laut. Saya bingung harus bagaimana, Sri. Saat itu saya hanya orang baru yang tidak tahu situasi dan kondisi dengan baik.

Pekerjaan saya hanya seputar memotret sapi-sapi yang berjalan bebas atau sekadar mengobrol dengan orang-orang yang tidak sama sekali saya kenal. Saya berusaha ramah dan terbuka kepada orang lain, siapapun orang di dekat saya, saya sapa.

Berdiam diri pantai adalah satu-satunya hiburan bagi saya saat beberapa hari pertama saya di sana. Saya bisa melihat gugusan pulau di seberang sana.

Sri, sejak beberapa tahun terakhir saya sangat terobsesi untuk mengunjungi berbagai pulau. Mungkin karena aku sering menonton anime One Piece. Saya termotivasi menonton anime karya Oda tersebut. Saya mengenal One Piece jauh sebelum mengenal dirimu, namun kamu tidak kalah membekas di hatiku.

Suatu hari yang sunyi. Saat itu saya benar-benar sendiri, tuan rumah sedang ada pekerjaan. Seorang sanak keluarga akan melaksanakan resepsi pernikahan, rumahnya di samping rumah tempat aku tinggal, hanya terpisah satu rumah. Siang hari di sana tidak ada listrik. Menjelang siang, saya pinjam motor dan memberanikan diri jalan sendiri. Saya pergi ke hutan.

Saya hanya mengandalkan insting, Sri. Saya tidak tahu arah mana, jalan menuju kemana, yang saya lalui itu. Saya sampai perbatasan hutan (cagar alam). Saya bertanya kepada seorang nenek yang tinggal tepat di pinggir hutan, halaman rumahnya adalah akses masuk ke hutan. Saya tidak langsung berangkat, lihat situasi.

Saya masih berada di perbatasan hutan itu, tidak berapa lama datang seorang pemuda. Saya tanya dia, diajak mengobrol, katanya ia akan masuk hutan untuk mengambil buat tiang gawang. Tanpa pikir panjang, saya menawarkan diri untuk ikut. Sudah ada teman temannya yang masuk duluan, lalu masih ada beberapa orang lagi yang sedang ditunggu. Kami masuk hutan, sambil basa basi berbagai hal. 

Kami semua bertujuh (kalau tidak salah ingat). Saya mengikuti kemanapun mereka pergi. Parang dikibas-kibaskan untuk menebas ranting dan dedaunan yang menghalangi jalan. 

Saya utarakan kepada mereka mengenai rasa penasaran saya kepada Burung Gosong dan sarangnya yang terkenal itu. Itu burung yang dilindungi, Sri. Kata teman-teman, sarangnya menyerupai gunung.

Salah seorang temanku menemukan sarangnya dalam hutan, tinggi gundukan tanah yang menyerupai gunung itu lebih tinggi daripada badanku, Sri, mungkin sampai 2 meter. Ada bekas kerukan di atasnya. Itu biasanya bekas ulah pencuri telur Burung Gosong. Bisa pula karena anak burung yang sudah menetas. Burung itu bisa langsung terbang setelah menetas. Larinya gesit.


(Bersambung)


Kamar Penantian, 28 Agustus 202020 23. 25


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendekatan Manajerial Psikologikal Sistem (2)

Tarekat Qadiriyah

Pendidikan Sosial