Pergi ke Pulau
Hai, Sri.
Bagaimana keadaanmu sekarang? Keadaan saya mulai membaik. Saat saya ketik surat ini untukmu, saya tengah mendengarkan lagi Sweet Victory yang dilantunkan oleh David Glen, dilanjut A Thousen Years gubahan Christina Perri. Lagu terakhir ini kesukaanmu bukan!
Sri, awal bulan Agustus saya pergi ke beberapa pulau di di Kepulauan Kangean: Pulau Saobi, Bungin Nyarat, dan Sapapan. Perjalanan ke sana lebih dua kali ke Surabaya lamanya.
Awalnya saya ingin ikut Kapal Bahari Express supaya cepat sampai, waktu tempuhnya hanya empat jam. Hanya saja waktu itu kapal itu tidak beroperasi karena prediksi ada ombak besar. Kata orang-orang di pelabuhan, Agustus adalah awal musim ombak besar. Terpaksa saya harus menginap di pelabuhan.
Ibu saya bilang, “Kalau sudah berangkat jangan pulang.”
Senin pagi saya sudah sampai di Kalianget, karena kata seorang pegawai syahbandar yang saya kenal, kapal Express akan berangkat jam 08. 00 WIB. Selesai subuh saya berangkat ke pelabuhan. Saya ngebut, hanya sekitar 40 menit sampai Pelabuhan.
Kapal yang saya tumpangi adalah Dharma Bhakti Sumekar (DBS) 1. Orang-orang pelabuhan biasa menyebut Sumekar 1. Saya berangkat berlayar pada hari Selasa, 4/8, pukul 17. 00. Ongkosnya 95 ribu rupiah, berhubung saya masuk kamar VIP, saya dikenakan biaya tambahan 25 ribu rupiah.
Kapal berlabuh waktu subuh di Pelabuhan Batu Guluk, Desa Bilis-Bilis, Kecamatan Arjasa (Pulau Kangean).
Saya buta arah di pelabuhan Batu Guluk, arah barat saya kira selatan.
Saya bertanya mushalla atau masjid ke orang-orang sekitar. Orang yang kutanyai itu bilang nanti setelah ada bangunan bertingkat masuk ke arah barat. Alhasil, saya malah nyasar dan kembali ke tempat semua, tidak jauh sih nyasarnya.
Abang-abang sibuk menawari tumpangan, mulai dari ojek sampai taksi. Saya bilang, saya mau salat dulu.
Kamu harus tahu Sri, taksi yang mereka maksud bukanlah seperti mobil Carry atau T 120 seperti milik K. Faizi. Taksi di sana, lumrahnya, adalah mobil pick up dipasangi sebuah tutup di bagian baknya. Kalau tidak salah, ongkos menuju Songai Beto-Beto (pelabuhan tujuanku selanjutnya) adalah 30 ribu rupiah, kalau nyalter 50 ribu rupiah.
Saya tidak ikut taksi karena ada kakak temanku yang akan menjemputnya. Ia orang Saobi, kebetulan waktu itu ia ada keperluan ke Arjasa. Saya menunggunya di warung makan. Sambil menunggu, sekalian saya makan di warung.
Pukul 8. 00 orang itu belum datang. Saya capek duduk menunggu terlalu lama. Saya memberanikan diri jalan-jalan di sekitar pelabuhan dan tas saya tinggalkan di situ. Kata bapak polisi di pelabuhan Kalianget, di Kangean aman. Ibarat kamu meninggalkan motormu dengan kuncinya, ia tidak akan hilang.
Saya menemui seseorang di kantor keamanan PLTD Kangean yang letaknya dekat pelabuhan, di depan PLTD itu ada sebuah bangunan pom bensin yang terlantarkan.
Saya maih merasa khawatir dengan tas saya. Saya mengambil tasku dan kembali lagi ke pos itu, bicara berbagai hal yang ada di Kangean, termasuk Melon Kangean yang terkenal.
Lahan melon itu ada di desa Satembhang, kebetulan Imam—penjaga pos yang saya temui—orang Satembang.
Tidak berapa lama kakak temanku datang. Namanya Rasidi, akrab dipanggil Endi, nama kerennya Memzy.
Kami langsung meluncur mengendarai motor. Kami berbicara banyak hal, termasuk masalah percintaan. Saya bisa enteng menjawab jika ada orang sana yang bilang, “Cari istri di sini saja,” “Saya sudah punya calon di rumah,” jawabku. Calon yang saya maksud adalah kamu, Sri.
Saya ikut Endi kemanapun ia pergi, ia masih berhenti beberapa kali di sekitar pasar Arjasa, mulai dari menarik uang di ATM sampai membeli beberapa barang elektronik. Katanya, di Saobi tidak ada ATM atau toko elektronik.
Kami sampai di Songai Beto-Beto sekitar pukul 11. Pelabuhan itu benaran sungai, saya kira hanya namanya Sungai Beto-Beto. Perahunya panjang dan ramping. Perahu seperti itu tipe perahu cepat.
Sebelum berangkat, kami makan nasi bungkus yang kami beli di Arjasa. Pelabuhan itu sepi, Sri, tetapi pikir saya tetap riuh tentang dirimu.
Saya duduk di ujung depan perahu, ingin menikmati lekukan sungai di tengah-tengah hutan mangrove, ingin menikmati semilir angin, ingin menikmati gugusan pulang yang terbentang di tengah laut.
Sepanjang sungai, kiri-kanan dipenuhi mangrove. Saya seperti berada di tempat wisata. Inilah wisata gratis yang bisa saya nikmati sepanjang sungai. Saya sungguh menikmati suasana itu, Sri. Jika kamu tidak mabuk laut, kita bisa jalan relaksasi di tempat seperti itu seperti Rhoma Irama dan Ani mengayuh perahu di tengah tungai. Semoga perahu kita tidak bocor.
Selepas melewati sungai yang bermuara ke laut itu, gugusan pulau di depan mataku. Pulau itu kecil-kecil, Sri. Kata Endi, ada yang tidak berpenghuni. Banyak pulau tidak berpenghuni di sana.
Sri, pikiran saya seolah mengembara lagi ke tempat itu, kedua kaki yang saya julurkan ke samping perahu sesekali disentuh jilatan ombak, terkadang airnya mengenai wajahku. Meskipun ombak, aku tidak takut, soalnya tidak besar, mungkin hanya sebesar bantal guling.
Sri, perempuan baik, saya ingin berlayar dahulu. Tunggu cerita saya tentang pulau seberang.
Salam hangat!
Ahad, 22/08/2020 21.41
Komentar
Posting Komentar