Ratu Lebah dan Seekor Lalat
Oleh: Moh. Tamimi
Aku tidak banyak tahu tentang dunia lebah, kehidupan lebah, lingkungan lebah, dan hal-hal yang bersangkut paut dengan lebah. Aku tahu Ratu Lebah yang satu ini karena aku menyukainya, dengan kata lain, aku mencintainya, sejak saat aku secara kebetulan melihat senyumnya. Perkara dari mana datangnya cinta itu, aku juga kurang mengerti, namun yang pasti, aku mulai mencintai lebah saat aku melihat senyumnya waktu itu, saat aku akan terbang jauh.
Apalah aku yang hanya hewan kecil yang tak indah dipandang sepasang mata. Aku hanya seekor lalat. Tidak seperti lebah, aku tak mempunyai keistimewaan apapun, tidak punya sengat, tidak bertubuh bagus, berwarna cerah, apalagi mengeluarkan madu yang hanya bisa dilakukan oleh lebah itu. Aku adalah lalat sebagaimana umumnya, anggapan terhadap diriku juga tak selalu baik, bahkan nyaris tak pernah baik.
Aku tak pernah meminta dilahirkan sebagai lalat. Aku memang tak pernah dilahirkan, tetapi ditetaskan. Aku juga tak pernah menginginkan hidup di belantara sampah. Akan tetapi, mau bagaimana lagi, kehidupanku seolah tak bisa berubah. Aku membayangkan, ketika aku berusaha untuk pergi ke tempat yang bersih, aku akan mati di sela-sela sapu lidi atau di kaca jendela karena tak kunjung menemukan jalan keluar.
Dari berbagai kemalanganku yang harus tetap aku syukuri ini, cita-citaku dari dulu sejak aku sudah dianggap dewasa hanyalah bisa hidup bersama dengan Ratu Lebah. Sekilas, aku pikir, aku rada-rada cocok dengan Ratu Lebah karena aku memiliki sayap yang tidak jauh berbeda dengannya, ukuran tubuh juga tidak terlalu jauh, paling hanya karena aku kurus dan dia gemuk, ketinggian terbang kita juga tidak terlalu jauh. Akan tetapi, pada akhirnya aku menyadari bahwa kami memiliki banyak perbedaan. Dia terlihat lebih berada daripada aku, dia juga hidup di sarang-sarang yang mengelantung di atas pohon, malah kadang disediakan secara cuma-cuma oleh manusia menggunakan potongan batang pohon kelapa yang telah dilubangi.
Sesekali kami berkomunikasi secara sembunyi-sembunyi, tentunya aku sangat senang waktu itu. Meskipun dalam berkomunikasi, aku pikir, kami nyaris sempurna. Aku ... sampai di sini aku seolah tak bisa bercerita lebih banyak lagi, saat ini, malam ini, di pikiranku hanya ada dirinya, sang Ratu Lebah. Oh, Ratu Lebah, mengapa kau sudah sedemikian rupa menguasai pikiranku. Aku cinta kau, ratu.
Pikiranku berkecamuk tatkala aku semakin menyadari berbagai berbedaan di antara kami, rumah atau istana atau sarang mungkin masih bisa ditiru untuk dibangun, namun kenyataan bahwa hidup sebagai orang atas dan aku sebagai orang bawah tak bisa disangkal. Orang elit sepertinya mana mungkin mau hidup bersamaku yang berkalang sampah, mujur bukan sampah masyarakat, sekali pun kutahu bahwa ia sosok yang dermawan yang mencintai masyarakat bawah. Masyarakat bawah untuk dikasihani dan diberi bantuan, bukan untuk dicintai sebagai kekasih. Masalah cinta, masyarakat atas menentukan standart tinggi.
Aku di dunia bawah bekerja sebagai tukang himpun berita dari berbagai kawasan di daerahku, daerah sampah. Di dunia manusia mungkin ini yang dinamakan wartawan. Sebagai wartawan, anggaplah begitu seterusnya, aku memiliki kesempatan untuk terbang ke mana-mana demi melaksanakan tugas untuk menghimpun informasi dan menuliskannya di atas lembaran daun, termasuk ke sarang lebah. Di sana, meskipun sekilas, aku bisa melihat sang ratu dan sungkem dengan bapak mertua idaman. Itu adalah bonus, bagian dari kebahagianku saat menjalani profesi ini sejak setengah tahun yang lalu.
Suatu ketika, karena sudah tidak kuat menahan rindu, kangen, kepada ratu, aku mengutarakan perasaanku yang menggejolak ini kepada ratu, tetapi jawaban ratu malah menggantung, jauh lebih menggantung daripada menggantungnya sarang para lebah di atas pohon. Aku pikir, saat itu, jika aku mengutaran perasaanku, aku bisa semakin lega, dan ini pula mungkin bisa menjadi obat penganti rindu, temu. Nyatanya, baca sendiri balasannya!
Ini pertanyaanku, “cintaku padamu sungguhan. 1. Ratu mau?; 2. Kalau ratu gak mau, aku harus bagaimana? 3. Apakah bakal ada restu dari bapak-ibu?; 4. Pertanyaan lain menyusul.”
“Apakah semua wartawan jomblo sepertimu, lat,” jawabnya, begitu saja.
“Tidak juga, soalnya banyak wartawan yang tidak lihai dalam bertanya.”
Aku kira balasanku itu akan mendapatkan balasan lagi, tetapi ternyata sampai kisahku ini aku ceritakan kepadamu, aku masih belum mendapatkan balasannya sekata pun. Ratu mungkin tidak sadar atau tidak mau menyadari bahwa semua wartawan membutuhkan jawaban, seburuk apapun pertanyaannya.
Aku hanyalah seekor lalat, bisa apa aku pada diriku sendiri, apalagi kepada orang lain. Bagaimanapun aku, aku tidak ingin menjadi pengemis meskipun aku sangat ingin. Keinginan masih bisa ditahan daripada kenangan. Kenangan ini yang kutakut membunuhku suatu hari nanti. Kenangan lebih kejam daripada sebatas keinginan yang tak sampai.
Pernah kudengar, Ratu memiliki hubungan spesial dengan beberapa pangeran lebah. Mendengar seorang pangeran, seketika aku langsung ciut. Babu berharap bernasib pangeran. Aku hanya bisa tertawa pada diri sendiri. Hahaha. Namanya juga harapan, kalau tidak sampai bukanlah sebuah kesalahan. Aku harus sudah cukup puas bisa bercakap-cakap dengannya walau tak seberapa.
“Tanya, dung,” ungkapnya suatu ketika.
“Apaan?”
“Kamu masih suka aku?”
“Masih.”
“Kenapa tidak berusaha membuat aku suka padamu?”
“Buat apa, cinta kan anugerah, kalau gak cinta berarti masih belum dianugerahi”
“Hemm, maaf!”
“Maaf kenapa?”
“Maaf untuk rasaku.”
2/7/2019 22.34
(bersambung)
Aku tidak banyak tahu tentang dunia lebah, kehidupan lebah, lingkungan lebah, dan hal-hal yang bersangkut paut dengan lebah. Aku tahu Ratu Lebah yang satu ini karena aku menyukainya, dengan kata lain, aku mencintainya, sejak saat aku secara kebetulan melihat senyumnya. Perkara dari mana datangnya cinta itu, aku juga kurang mengerti, namun yang pasti, aku mulai mencintai lebah saat aku melihat senyumnya waktu itu, saat aku akan terbang jauh.
Apalah aku yang hanya hewan kecil yang tak indah dipandang sepasang mata. Aku hanya seekor lalat. Tidak seperti lebah, aku tak mempunyai keistimewaan apapun, tidak punya sengat, tidak bertubuh bagus, berwarna cerah, apalagi mengeluarkan madu yang hanya bisa dilakukan oleh lebah itu. Aku adalah lalat sebagaimana umumnya, anggapan terhadap diriku juga tak selalu baik, bahkan nyaris tak pernah baik.
Aku tak pernah meminta dilahirkan sebagai lalat. Aku memang tak pernah dilahirkan, tetapi ditetaskan. Aku juga tak pernah menginginkan hidup di belantara sampah. Akan tetapi, mau bagaimana lagi, kehidupanku seolah tak bisa berubah. Aku membayangkan, ketika aku berusaha untuk pergi ke tempat yang bersih, aku akan mati di sela-sela sapu lidi atau di kaca jendela karena tak kunjung menemukan jalan keluar.
Dari berbagai kemalanganku yang harus tetap aku syukuri ini, cita-citaku dari dulu sejak aku sudah dianggap dewasa hanyalah bisa hidup bersama dengan Ratu Lebah. Sekilas, aku pikir, aku rada-rada cocok dengan Ratu Lebah karena aku memiliki sayap yang tidak jauh berbeda dengannya, ukuran tubuh juga tidak terlalu jauh, paling hanya karena aku kurus dan dia gemuk, ketinggian terbang kita juga tidak terlalu jauh. Akan tetapi, pada akhirnya aku menyadari bahwa kami memiliki banyak perbedaan. Dia terlihat lebih berada daripada aku, dia juga hidup di sarang-sarang yang mengelantung di atas pohon, malah kadang disediakan secara cuma-cuma oleh manusia menggunakan potongan batang pohon kelapa yang telah dilubangi.
Sesekali kami berkomunikasi secara sembunyi-sembunyi, tentunya aku sangat senang waktu itu. Meskipun dalam berkomunikasi, aku pikir, kami nyaris sempurna. Aku ... sampai di sini aku seolah tak bisa bercerita lebih banyak lagi, saat ini, malam ini, di pikiranku hanya ada dirinya, sang Ratu Lebah. Oh, Ratu Lebah, mengapa kau sudah sedemikian rupa menguasai pikiranku. Aku cinta kau, ratu.
Pikiranku berkecamuk tatkala aku semakin menyadari berbagai berbedaan di antara kami, rumah atau istana atau sarang mungkin masih bisa ditiru untuk dibangun, namun kenyataan bahwa hidup sebagai orang atas dan aku sebagai orang bawah tak bisa disangkal. Orang elit sepertinya mana mungkin mau hidup bersamaku yang berkalang sampah, mujur bukan sampah masyarakat, sekali pun kutahu bahwa ia sosok yang dermawan yang mencintai masyarakat bawah. Masyarakat bawah untuk dikasihani dan diberi bantuan, bukan untuk dicintai sebagai kekasih. Masalah cinta, masyarakat atas menentukan standart tinggi.
Aku di dunia bawah bekerja sebagai tukang himpun berita dari berbagai kawasan di daerahku, daerah sampah. Di dunia manusia mungkin ini yang dinamakan wartawan. Sebagai wartawan, anggaplah begitu seterusnya, aku memiliki kesempatan untuk terbang ke mana-mana demi melaksanakan tugas untuk menghimpun informasi dan menuliskannya di atas lembaran daun, termasuk ke sarang lebah. Di sana, meskipun sekilas, aku bisa melihat sang ratu dan sungkem dengan bapak mertua idaman. Itu adalah bonus, bagian dari kebahagianku saat menjalani profesi ini sejak setengah tahun yang lalu.
Suatu ketika, karena sudah tidak kuat menahan rindu, kangen, kepada ratu, aku mengutarakan perasaanku yang menggejolak ini kepada ratu, tetapi jawaban ratu malah menggantung, jauh lebih menggantung daripada menggantungnya sarang para lebah di atas pohon. Aku pikir, saat itu, jika aku mengutaran perasaanku, aku bisa semakin lega, dan ini pula mungkin bisa menjadi obat penganti rindu, temu. Nyatanya, baca sendiri balasannya!
Ini pertanyaanku, “cintaku padamu sungguhan. 1. Ratu mau?; 2. Kalau ratu gak mau, aku harus bagaimana? 3. Apakah bakal ada restu dari bapak-ibu?; 4. Pertanyaan lain menyusul.”
“Apakah semua wartawan jomblo sepertimu, lat,” jawabnya, begitu saja.
“Tidak juga, soalnya banyak wartawan yang tidak lihai dalam bertanya.”
Aku kira balasanku itu akan mendapatkan balasan lagi, tetapi ternyata sampai kisahku ini aku ceritakan kepadamu, aku masih belum mendapatkan balasannya sekata pun. Ratu mungkin tidak sadar atau tidak mau menyadari bahwa semua wartawan membutuhkan jawaban, seburuk apapun pertanyaannya.
Aku hanyalah seekor lalat, bisa apa aku pada diriku sendiri, apalagi kepada orang lain. Bagaimanapun aku, aku tidak ingin menjadi pengemis meskipun aku sangat ingin. Keinginan masih bisa ditahan daripada kenangan. Kenangan ini yang kutakut membunuhku suatu hari nanti. Kenangan lebih kejam daripada sebatas keinginan yang tak sampai.
Pernah kudengar, Ratu memiliki hubungan spesial dengan beberapa pangeran lebah. Mendengar seorang pangeran, seketika aku langsung ciut. Babu berharap bernasib pangeran. Aku hanya bisa tertawa pada diri sendiri. Hahaha. Namanya juga harapan, kalau tidak sampai bukanlah sebuah kesalahan. Aku harus sudah cukup puas bisa bercakap-cakap dengannya walau tak seberapa.
“Tanya, dung,” ungkapnya suatu ketika.
“Apaan?”
“Kamu masih suka aku?”
“Masih.”
“Kenapa tidak berusaha membuat aku suka padamu?”
“Buat apa, cinta kan anugerah, kalau gak cinta berarti masih belum dianugerahi”
“Hemm, maaf!”
“Maaf kenapa?”
“Maaf untuk rasaku.”
2/7/2019 22.34
(bersambung)
Seeepaaak mi la Andi....
BalasHapus