Wanita, Pondok, dan Sastra
Oleh: Moh. Tamimi*
Wanita sebagai makhluk antik dengan segala keunikannya itu banyak mengilhami para penyair untuk berkarya. Jangankan penyair, filosof sekelas Aguste Comte saja, apalah daya jika tidak ada wanita pujaannya yang melatari filsafat positivisme-nya. Karya master piece Kahlil Gibran, The Broken Wing’s, yang mengisahkan cinta bertepuk sebelah tangan, belum tentu tercipta kalau bukan karena wanita yang dicintainya setengah mati, sepenuh hati. Soekarno tanpa istri-istrinya, aduh betapa galaunya.
Sayangnya, atau sekelas kata memperihatinkan, wanita selalu dijadikan objek atas hampir segala hal. Sumber kejahatan, wanita. Sumber kemaksiatan, wanita. Sumber keberhasilan ini, jangan sampai lupa, juga karena wanita. Di balik laki-laki yang sukses, ada wanita yang hebat, kata Mario Teguh. Jangankan laki-laki kelas teri, kalau sholat adalah tiang agama, maka wanita adalah tiang negara. Negara ini sudah kelas kakap loh.
Namanya juga tiang, seperti tiang rumah, dilihat dari kejauhan tidak begitu kelihatan, kalaupun kelihatan tidak begitu jelas. Akan tetapi, jangan sekali-kali mengambil/merobohkan tiang kalau tidak mau teras rumahnya roboh. Pokoknya lengkaplah peran wanita.
Berhubung wanita selalu menjadi objek dari laki-laki, maka wanita harus bangkit, katanya. Wanita juga harus mengisi pos-pos penting di instansi publik, sudah saatnya wanita mengambil peran, mungkin begitu katanya lagi. Ini bahaya, jika laki-laki diposisikan sebagai musuh, jenis manusia lain yang harus disaingi. Jika demikian, maka yang mengurus panggung belakang siapa? Perlu diketahui, ini bukan paham dramaturgi, bukan, meskipun saya memakai istilah panggung belakang.
Apa hubungannya dengan pondok?
Mungkin begitu pertanyaan pembaca. Sudah saya bilang, wanita itu multi, bukan hanya multitalent, tetapi multi multi.
Wanita selalu bisa dihubungkan ke mana-mana, apalagi sebatas pondok.
Wanita mondok, biasanya yang masih belum siap nikah, atau paling tidak masih menjelang nikah, tunangan. Di pondok, para wanita, tentunya, untuk belajar, bukan mencari kedudukan ataupun jodoh semata, perkara ada yang kesangkut dengan santri putra, itu masalah lain, di luar pondok nanti urusannya.
Bicara wanita dan pendidikan, saya teringat perkataan R. A. Kartini, si putri sejati, wanita harus berpendidikan bukan untuk meyaingi laki-laki, tetapi untuk memenuhi tugas peradaban. Nah, menurut subjektifitas saya, pandangan Kartini inilah yang baik dan benar. Santriwati-santriwati sepantasnya memiliki pandangan yang seperti ini. Kenapa harus santriwati bukan siswi yang sekolah di sekolah umum? Jawabnya, karena di pondoklah yang orientasinya bukan sekadar kerja, kerja, kerja, dan uang. Berbeda halnya dengan sekolah umum yang misinya adalah menyiapkan lulusan yang mampu berdaya saing, terutama di bidang ekonomi. Kalau ini, baru, wanita mau dijadikan budak.
Bukan berarti punggung laki-laki kuat memikul beban, lalu wanita harus mampu memikulnya juga. Ini saya sarikan dari pernyaan Buya Hamka. Pria dan wanita memiliki tugas masing-masing. Kalau laki-laki tugasnya memikul kayu, maka wanita tugasnya menggendong dan merawat bayi, seandainya.
Sepertinya, saya dari awal tulisan kebanyakan menggunakan kata laki-laki dan wanita, padahal ini kurang pas: laki-laki - perempuan, pria - wanita. Seharusnya begitu, namun tenang dan saya mohon maaf atas kesengajaan ini. Maksud saya supaya hal itu mempunyai akhiran yang sama dengan kata sastra, wanita - satra, sama-sama berakhir a.
Apa hubungannya lagi dengan satra? Wanita, pondok, dan satra. Kembali ke paragraf pertama. Biarlah wanita menjadi penyemangat, inspirasi, dan penguat (tiang) laki-laki. Menjadi inspirasi tak berkesudahan untuk berkarya, berbuat, bertindak, tanpa harus menjadikan laki-laki sebagai musuh, penghalang, perampas, karir wanita. Dia menjadi keindahan (sastra) tersendiri di mata dan di hati laki-laki. Ini bukan berarti saya ingin memarginalkan atau mendiskreditkan wanita, tetapi ingin menempatkan wanita menempati tugasnya dalam memenuhi tugas peradaban. Perkara mereka mau menjadi apa saja, terserah. Tentukan pilihanmu!
Kalaupun mau menjadi inspirasi bagi para laki-laki, saya sebagai salah satu dari banyak laki-laki mohon dengan sangat, supaya kasusnya tidak serupa dengan wanita yang berada di balik Kahlil Gibran dan Agute Combe, paling tidak, jadilah seperti sosok Khatijah bagi Nabi Muhammad Saw., Siti Fatimah bagi Ali bin Abi Thalib, wanita yang berkesan dan selalu dikenang sepanjang sejarah.
*Mahasiswa Institut Ilmu Keislaman Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep, Prodi Pendidikan Bahasa Arab. Salam bagi wanita pondok!
Wanita sebagai makhluk antik dengan segala keunikannya itu banyak mengilhami para penyair untuk berkarya. Jangankan penyair, filosof sekelas Aguste Comte saja, apalah daya jika tidak ada wanita pujaannya yang melatari filsafat positivisme-nya. Karya master piece Kahlil Gibran, The Broken Wing’s, yang mengisahkan cinta bertepuk sebelah tangan, belum tentu tercipta kalau bukan karena wanita yang dicintainya setengah mati, sepenuh hati. Soekarno tanpa istri-istrinya, aduh betapa galaunya.
Sayangnya, atau sekelas kata memperihatinkan, wanita selalu dijadikan objek atas hampir segala hal. Sumber kejahatan, wanita. Sumber kemaksiatan, wanita. Sumber keberhasilan ini, jangan sampai lupa, juga karena wanita. Di balik laki-laki yang sukses, ada wanita yang hebat, kata Mario Teguh. Jangankan laki-laki kelas teri, kalau sholat adalah tiang agama, maka wanita adalah tiang negara. Negara ini sudah kelas kakap loh.
Namanya juga tiang, seperti tiang rumah, dilihat dari kejauhan tidak begitu kelihatan, kalaupun kelihatan tidak begitu jelas. Akan tetapi, jangan sekali-kali mengambil/merobohkan tiang kalau tidak mau teras rumahnya roboh. Pokoknya lengkaplah peran wanita.
Berhubung wanita selalu menjadi objek dari laki-laki, maka wanita harus bangkit, katanya. Wanita juga harus mengisi pos-pos penting di instansi publik, sudah saatnya wanita mengambil peran, mungkin begitu katanya lagi. Ini bahaya, jika laki-laki diposisikan sebagai musuh, jenis manusia lain yang harus disaingi. Jika demikian, maka yang mengurus panggung belakang siapa? Perlu diketahui, ini bukan paham dramaturgi, bukan, meskipun saya memakai istilah panggung belakang.
Apa hubungannya dengan pondok?
Mungkin begitu pertanyaan pembaca. Sudah saya bilang, wanita itu multi, bukan hanya multitalent, tetapi multi multi.
Wanita selalu bisa dihubungkan ke mana-mana, apalagi sebatas pondok.
Wanita mondok, biasanya yang masih belum siap nikah, atau paling tidak masih menjelang nikah, tunangan. Di pondok, para wanita, tentunya, untuk belajar, bukan mencari kedudukan ataupun jodoh semata, perkara ada yang kesangkut dengan santri putra, itu masalah lain, di luar pondok nanti urusannya.
Bicara wanita dan pendidikan, saya teringat perkataan R. A. Kartini, si putri sejati, wanita harus berpendidikan bukan untuk meyaingi laki-laki, tetapi untuk memenuhi tugas peradaban. Nah, menurut subjektifitas saya, pandangan Kartini inilah yang baik dan benar. Santriwati-santriwati sepantasnya memiliki pandangan yang seperti ini. Kenapa harus santriwati bukan siswi yang sekolah di sekolah umum? Jawabnya, karena di pondoklah yang orientasinya bukan sekadar kerja, kerja, kerja, dan uang. Berbeda halnya dengan sekolah umum yang misinya adalah menyiapkan lulusan yang mampu berdaya saing, terutama di bidang ekonomi. Kalau ini, baru, wanita mau dijadikan budak.
Bukan berarti punggung laki-laki kuat memikul beban, lalu wanita harus mampu memikulnya juga. Ini saya sarikan dari pernyaan Buya Hamka. Pria dan wanita memiliki tugas masing-masing. Kalau laki-laki tugasnya memikul kayu, maka wanita tugasnya menggendong dan merawat bayi, seandainya.
Sepertinya, saya dari awal tulisan kebanyakan menggunakan kata laki-laki dan wanita, padahal ini kurang pas: laki-laki - perempuan, pria - wanita. Seharusnya begitu, namun tenang dan saya mohon maaf atas kesengajaan ini. Maksud saya supaya hal itu mempunyai akhiran yang sama dengan kata sastra, wanita - satra, sama-sama berakhir a.
Apa hubungannya lagi dengan satra? Wanita, pondok, dan satra. Kembali ke paragraf pertama. Biarlah wanita menjadi penyemangat, inspirasi, dan penguat (tiang) laki-laki. Menjadi inspirasi tak berkesudahan untuk berkarya, berbuat, bertindak, tanpa harus menjadikan laki-laki sebagai musuh, penghalang, perampas, karir wanita. Dia menjadi keindahan (sastra) tersendiri di mata dan di hati laki-laki. Ini bukan berarti saya ingin memarginalkan atau mendiskreditkan wanita, tetapi ingin menempatkan wanita menempati tugasnya dalam memenuhi tugas peradaban. Perkara mereka mau menjadi apa saja, terserah. Tentukan pilihanmu!
Kalaupun mau menjadi inspirasi bagi para laki-laki, saya sebagai salah satu dari banyak laki-laki mohon dengan sangat, supaya kasusnya tidak serupa dengan wanita yang berada di balik Kahlil Gibran dan Agute Combe, paling tidak, jadilah seperti sosok Khatijah bagi Nabi Muhammad Saw., Siti Fatimah bagi Ali bin Abi Thalib, wanita yang berkesan dan selalu dikenang sepanjang sejarah.
*Mahasiswa Institut Ilmu Keislaman Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep, Prodi Pendidikan Bahasa Arab. Salam bagi wanita pondok!
Komentar
Posting Komentar