Guru, Kekerasan, dan Ketegasan
Oleh: Moh. Tamimi*
Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa, begitu kata Sartono dalam lirik lagu Hymne Guru gubahannya. Lirik lagu yang selalu dinyanyikan ketika masih SD dulu itu memang benar adanya, "tanpa tanda jasa." Saat itu, konon katanya, guru, kebanyakan, tidak ada honornya, hanya sebatas sukarela dan semangat pengabdian.
Guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa itu, dulu, masih mendapatkan kepercayaan dari masyarakat, buktinya saat siswa/murid dijewer, dipukul, atau bahkan ditempeleng sekali pun ketika si anak melapor kepada orang tuanya, si anak mungkin malah mendapatkan "bonus" pukulan dari orang tua. Karena mereka, orang tua, yakin bahwa gurunya tidak asal-asalan melakukan hukuman sedemikian rupa kepada anak didiknya kalau tidak memiliki alasan yang dapat dibenarkan.
Akan tetapi, jangan sekali-sekali melakukan hal itu pada saat ini kalau tidak mau menekam di dalam kamar berukuran 2x3 meter di kepolisian setempat, guru dilaporkan berdasarkan undang-undang perlindungan anak/kekerasan terhadap anak-anak.
Biasanya yang dijadikan rujukan dalam laporan pengaduan kekerasan terhadap anak oleh guru adalah Pasal 54 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menyatakan bahwa “Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya."
Terlepas dari orang tua lebay yang sedikit-dikit melaporkan guru anaknya kepada polisi, penulis ingin kembali kepada strategi guru dalam mendidik para siswa. Di dalam lubuk hati terdalam, penulis tidak setuju jika ada guru yang menggunakan/mengandalkan kekerasan dalam mendidik para siswa, namun di sisi lain penulis setuju jika guru menggunakan hukuman fisik sekadar untuk memperingati siswa.
Kekerasan dalam dunia pendidikan sejatinya bukan hanya secara kontak fisik, tetapi ada juga kekerasan secara psikis seperti membentak, merendahkan, mencacimaki, marah dan lain sebagainya.
Betapa pun sebuah kekerasan dapat didamaikan, pasti tersisa bekas "luka" pada akhirnya. Namanya juga mendidik, idealnya harus dengan cara yang berpendidikan pula. Jalan kekerasan yang dilakukan oleh guru menandakan bahwa ia telah kehilangan akal menghadapi si "siswa" atau memang si guru hobi melakukan aksi pukul memukul, kalau demikian, sebaiknya pindah ke kelas karate saja!
Kekerasan yang dilakukan guru ini akan membekas di benak siswa, seolah kalau melakukan kesalahan langsung "sikat sana-sikat sini." Jika demikian, maka siswa cenderung tertutup, takut bertanya, takut bertindak, siswa serba takut seolah ia berada di penjara dan guru di depannya itu adalah monster naga api yang sewaktu-waktu dapat menyemburkan api padanya.
Kemungkinan kedua, dari perilaku kekerasan guru ini, siswa akan berperilaku demikian, karena sok lebih besar, lebih pintar, lebih gaya, dan lain sebagainya, ia mengolok-ngolok, menindas, atau mencelakai teman-temannya. Jangan heran dengan perilaku demikian, kenakalan siswa, karena memang sudah "doktrin" oleh gurunya.
Alangkah lebih baiknya proses belajar mengajar dilangsungkan dengan cinta, sebagaimana dikatakan oleh Ki Hajar Dewantara (1957), beliau mengatakan bahwa mendidik murid harus mengedepankan bahasa cinta kasih dan keteladanan. Mendidik siswa adalah bagian membangun mental kebaikan dalam dinamika kebudayaan.
Berhubung sekarang sudah ada undang-undang perlindungan anak, mungkin karena takut terjerat pasal itu, maka guru mengambil jalan aman. Di sekolah ia memenuhi tugasnya sebatas mengajar, mentransfer ilmu, terserah murid berperilaku seperti apa. Guru seolah tidak mempunyai kewibawaan lagi. Ketegasannya melembek seketika ketika dihadapkan pada undang-undang perlindungan anak.
Sekarang tidak jarang terlihat di media, guru dianiaya oleh siswa berikut orang tuanya. Guru dilaporkan ke polisi karena telah menjewer seorang siswa. Seolah guru bukanlah tenaga pendidik, melainkan musuh bersama yang harus ditumbangkan.
Akhirnya, semua menjadi serba salah, diperingati salah, dibiarkan salah. Ujung-ujungnya tetap guru yang disalahkan. Murid tak bermoral, guru yang salah. Murid "diperingati" guru disalahkan juga. Jadi, mau bagaimana?
"Ya, didik dengan benar," kata orang tua siswa. "Toh ini dari pangkal ke ujung bayar semua, guru sudah digaji banyak, sertifikasi lagi." Itu jawaban-jawaban praduga penulis atas jawaban orang tua siswa.
Semua itu, kekerasan dalam dunia pendidikan, mungkin tidak akan terjadi, paling tidak minim, manakala guru mampu menguasai emosinya sendiri, mempunyai bekal ilmu psikologi untuk menghadapi para siswa "nakal bin bandel."
*Mahasiswa Institut Ilmu Keislaman Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep, Madura. Prodi Pendidikan Bahasa Arab, semester VI
Komentar
Posting Komentar